apapun itu

apapun itu
HK

Jumat, 05 Oktober 2012

SEJARAH JURNALISTIK NASIONAL DAN INTERNASIONAL

Jurnalistik Indonesia dan Sejarah

Jurnalistik atau jurnalisme secara bahasa berasal dari kata journal. Journal artinya catatan harian atau catatan mengenai kejadian sehari-hari, dan bias disebut juga dengan istilah surat kabar. Journal sendiri berasal dari bahas latin yaitu “diurnalis” yang berarti orang yang melakukan pekerjaan jurnalistik.
Di Indonesia, pernah dikenal istilah publisistik untuk istilah jurnalisme. Istilah publisistik digunakan karena beberapa kampus di Indonesia berkiblat pada jurnalisme di Eropa. Awal munculnya istilah jurnalistik itu berasal dari Amerika Serikat. Istilah jurnalistik kemudian menggantikan istilah publisistik. Dari sinilah istilah jurnalistik Indonesia mulai muncul dan berkembang.
Kegiatan jurnalistik Indonesia dimulai oleh Belanda pada saat menjajah negeri ini. Para pejuang kemerdekaan banyak yang menggunakan jurnalistik sebagai alat perjuangan memperebutkan kemerdekaan. Pada waktu itu telah terbit koran-koran yang menyuarakan kemerdekaan, seperti Bintang Timoer, Bintang Barat, Java Bode, dan Medan Prijaji. Medan Prijaji merupakan koran pertama yang terbit di Indonesia.
Sebelumnya juga pernah terbit media cetak tabloid Belanda pada 1744 bernama Batavis Novelis. Kemudian pernah juga terbit media cetak lainnya pada 1776 bernama Vandu News. Vandu berasal dari kata pandu yang berarti petunjuk. 
Seiring berkembangnya jaman dan kondisi ekonomi bangsa Indonesia, pada 1854 pernah terbit media cetak Indonesia bernama Bromas Tani dan Biang Lala. Waktu itu Indonesia masih dalam masa kolonialisme. Di Surabaya pernah terbit media cetak berbentuk surat kabar, yaitu Surat Kabar Melayok pada 1856. Terbitnya beberapa media cetak tersebut menjadi langkah awal berdirinyajurnalistik Indonesia.
Pada masa-masa kemerdekaan Indonesia, mulai dikenal media radio. Saat itu dibangun sebuah stasiun radio pertama bernama RRI (Radio Republik Indonesia). Bung Tomo pernah menggunakan RRI untuk mengobarkan semangat perjuangan rakyat Indonesia. Media televisi mulai digunakan di Indonesia sejak tahun 1962 dengan layar bergambar hitam putih. Indonesia memasuki proyek televisi pada saat menjelang ASIAN GAMES ke-IV.
Pada tanggal 13 Desember 1937 didirikan kantor berita pertama, yaitu ANTARA. Kantor berita ini digunakan sebagai kantor berita perjuangan dalam rangka merebut kemerdekaan Indonesia hingga mencapai proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, sekaligus sebagai tonggak resmi berdirinya dunia jurnalistik Indonesia. ANTARA dibangun oleh tiga orang pejuang jurnalistik kemerdekaan, yaitu Soemanang, A.M. Sipanhoentar, dan Adam Malik (yang akhirnya menjadi orang penting di pemerintahan).
Sewaktu Jepang menguasai Indonesia, Koran-koran dilarang untuk terbit. Namun para pejuang jurnalistik Indonesia terus melakukan upaya untuk tetap menerbitkan media-media cetak. Hingga akhirnya ada lima media yang mendapatkan ijin untuk terbit, di antaranya: Asia Raja, Sinar Baru, Suara Asia, Tjahaja, dan Sinar Matahari.
Masa orde baru adalah masa yang cukup suram bagi dunia jurnalistik Indonesia. Pada masa ini banyak dilakukan pembredelan. Kontrol publikasi media dipegang oleh Departemen Penerangan dan Persatuan Wartan Indonesia (PWI) yang merupakan corong pemerintah.
Kondisi ini memunculkan reaksi dari para aktivis Insan Pers dengan mendeklarasikan Aliansi Jurnalis Indepen (AJI) di Jawa Barat. Pemerintah pun segera bertindak dengan memenjarakan beberapa aktivis dari AJI. Ini merupakan sebuah pukulan bagi dunia jurnalistik Indonesia pada saat itu.
Kasus yang paling fenomenal pada masa Orde Baru adalah peristiwa Malari. Pada peristiwa ini, jurnalistik Indonesia seolah sedang berada di ujung tanduk. Peristiwa Malari berhasil membredel sebanyak 12 media cetak. Pada peristiwa itu juga pemerintah melakukan pencabutan terhadap SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers) kepada sejumlah media massa. Media yang dicabut SIUPP-nya antara lain Majalah Tempo, deTIK, dan Editor. Ketiga media itu ditutup karena dianggap terlalu kritis terhadap pemerintah.



Dunia Jurnalistik Indonesia Sekarang

Setelah era reformasi, barulah muncul kebebasan pers dalam jurnalistik Indonesia. Media-media baru pun bermunculan seperti jamur saat musim hujan. Muncul pula berbagai organisasi pers dan jurnalistik di luar PWI.
Media televisi juga mulai menyiarkan siaran-siaran berita. Radio-radio swasta dan radio komunitas tumbuh subur. Namun sayangnya kebebasan jurnalistik pada saat reformasi mengalami kebablasan. Pernah muncul istilah “Koran kuning”, sebutan untuk media cetak yang menampilkan gambar dan berita vulgar. Jurnalistik Indonesia mulai mengepakkan sayapnya lebih lebar.
Untuk mengontrol kebebasan pers dan penyiaran, maka pemerintah mengeluarkan Undang-undang Pers Nomor 40 tahun 1999 yang dikeluarkan oleh Dewan Pers. Pemerintah juga mengeluarkan Undang-Undang penyiaran Nomor 32 Tahu 2002 melalui Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Peraturan ini mau tidak mau harus dipatuhi oleh persatuan jurnalistik Indonesia.
Jurnalistik Indonesia telah melalui tahapan yang begitu panjang. Pembredelan, pencekalan, pemboikotan berita telah menjadi hal biasa bagi dunia jurnalistik Indonesia. Mereka, para jurnalis, adalah orang-orang yang memiliki dedikasi tinggi untuk menyampaikan informasi bagi masyarakat Indonesia.
Kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya informasi semakin meningkat. Perkembangan jurnalistik Indonesia pun menjadi satu hal yang tidak bisa dihindarkan. Informasi yang sifatnya hiburan juga sudah menjadi “santapan” bagi dunia jurnalistik Indonesia




Dalam perkembangan jurnalistik, terkait penentuan jurnalis pertama dan kapan kegiatan jurnalistik pertama dilakukan, para ahli senantiasa merujuk pada Romawi masa Julius Caesar (100-44 SM). Jules meneruskan tradisi raja-raja terdahulu untuk menyiarkan kabar mengenai keputusan senat di papan pengumuman, Acta Diurna. Jules berpikir, walaupun kekuasaannya tanpa batas, ia harus mendapatkan inisiasi dari publik Roma.
Istilah Jurnalis
Sejak saat itu, dikenal istilah Jurnalis yang berasal dari kata diurnalis atau mereka yang menjadi juru tulis senat. Padahal, jika para ahli sains percaya adanya agama, perkembangan jurnalistik sudah ada pada masa sebelum Jules. Misalnya, catatan Eumenes, 363 SM. Ia telah membuat kisah orang-orang ternama masa itu, dari Alexander yang agung sampai Aristoteles. Lebih jauh lagi beribu tahun ke belakang adalah masa Nabi Nuh.
Konon, saat banjir besar menghantam bumi atau berakhirnya zaman es, riak jurnalistik sudah terbangun. Nabi Nuh AS membutuhkan kabar yang akurat dan faktual tentang kondisi daratan. Dikirimlah jurnalis dadakan, namun bisa dipercaya karena memiliki kemampuan "radar magnetis" dan otak kecil alat navigasi di hidungnya. Ya, burung merpati. 
Si Merpati barangkali pangkatnya seorang reporter investigasi yang diminta mencari tahu kadar kesurutan air. Merpati terbang berkeliling hingga menemukan ranting zaitun yang menyebul di lautan. Ranting itu dipatuk, lantas dibawa sehingga Nabi Nuh mengetahui kabar akurat mengenai surutnya air. 
China 
Pada perkembangan selanjutnya, tradisi tulisan berlanjut di China. Surat kabar pertama pun lahir, King Pao. Surat kabar yang mengabarkan titah kaisar. Lantas, jurnalis tulis menulis sedikit surat di zaman kegelapan Eropa walaupun mendapat tempat manis di Asia. Pada masa itu, orang Eropa mengandalkan para penyair dari hall ke hall untuk mengabarkan kisah para raja dan pahlawan. 
Perkembangan berarti berlangsung pada abad pertengahan. Yakni, hadirnya mesin cetak. Guttenberg (1450), dengan izin Tuhan, benar-benar merevolusi dunia. Kehadiran mesin cetak telah membawa jurnalisme ke titik 100 persen. Kemudian, lahir media massa pertama di Eropa yang tidak ditujukan untuk para raja semata. Yakni, Gazzeta di Venesia. 
Sebagaimana umumnya kota Italia yang menganggap raja atau doge sebagai patron, kota dan para pengurusnya bersikap mandiri. Kemandirian informasi di Venesia inilah yang melahirkan Gazzeta. 
Amerika 
Di Amerika Utara, perkembangan pers mengikuti sejarah unik penjajahan Inggris pada dataran kolonialnya. Orang kolonial Amerika Utara itu, bahkan, memulihkan nama journalism sebagai kegiatan pencarian berita. Sementara di tanah Inggris sendiri, lahir Oxford Gazzete. Nama newspapper mulai digunakan menggantikan Gazzete yang berbau pizza Italia. 
Pada masa awal revolusi Industri, masa Descartes usai mencerahkan Eropa dengan filsafat ilmunya, jurnalistik mulai dipandang sebagai ilmu baru di ranah sosial. Karl Bucher dan Max Weber di Universitas Basel Swiss memperkenalkan cabang baru ilmu persuratkabaran, Zeitungkunde pada 1884. 
Di Amerika Utara, lahirlah sekolah beken dalam urusan jurnalis, Columbia School of Journalism pada 1912 oleh Joseph Pulitzer. Pada abad ke-20, kepakaran dan profesi semakin mencair. Ilmu dan teori jurnalisme semakin berkembang, kode etik dilahirkan, teknik pemberitaan diperluas. Nama-nama harum, seperti Hunter S. Thompson, Hearst, atau Tom Wolfe, mengembangkan jurnalisme sebagai teknik dan konglomerasi.


Sejarah Jurnalistik dan Munculnya Bahasa Jurnalistik

Dalam masyarakat ada sebagian pihak yang bertanya apakah memang ada bahasa jurnalistik itu? Untuk apa bahasa jurnalistik? Biasanya, mereka yang bertanya seperti itu tergolong yang punya kepedulian terhadap seluk beluk berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Selebihnya, masyarakat pada umumnya mengabaikan perbedaan antara bahasa jurnalistik dengan bahasa pasar yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Manusia pada era konvergensi media massa ini, tidak mungkin melakukan pengembangan diri dan masyarakat tanpa mengakses berita, fakta, ilustrasi, gagasan, dan informasi dari berbagai media komunikasi massa baik secara tradisional maupun media massa kontemporer (Santana K., 2005: 152).
Bermula dari abad ke-19 setelah manusia melakukan revolusi industri, mereka menyempurnakan berbagai teknologi untuk membantu kehidupan mereka. Antara pabrik dengan pertanian pun disambungkan. Manusia tidak lagi hanya melakukan komunikasi antarpribadi dan kelompok. Teknologi komunikasi mempertemukan manusia melalui industri telepon, surat kabar, majalah, fotografi, radio, film, televisi, komputer dan satelit serta internet. Manusia kini berada dalam abad informasi.
Bagaimana media massa mentransmisikan informasi dan edukasi? Bagaimana media massa menjalankan fungsinya sebagai pelaku kontrol sosial, pewaris nilai kebudayaan, penafsir berita dan penyedia hiburan? Bahkan Marshall McLuhan mengkosmologikan era global village, kampung global. Media membuat jutaan orang bisa “melihat dunia” secara langsung dan serentak.
Semua itu ditumbuhkan oleh para pekerja media. Pekerjaan mereka, yang kian jadi profesi, menciptakan pesan yang kian efektif. Dari suara elektronis yang semakin human, sampai halaman cetak dan huruf-huruf billboard elektronis, semuanya mengakumulasi. Ini hasil trial and error pekerja dan akdemisi ketika mengembangkan proses komunikasi massa. Mereka meneliti unsur-unsur pesan, individu pengirim, khalayak dan berbagai efek komunikasi massa.
Pekerja media menata pesan massal dengan memanfaatkan ruang dan waktu teknologi media. Suara-suara elektronis “human” memproses terpaan sampai ke bunyi mendesis dalam satuan waktu siaran. Kata-kata cetak disusun hingga mengajak keaktifan masyarakat ke ruang-ruang imaji sosial. Sistematika pesan dikalkulasi sampai ke rincian efek “titik dan koma”, bukan hanya semata-mata gramatika bahasa. Pesan ditata supaya memiliki daya pikat selera massa di berbagai ruang pengalaman dan referensi sosial.
Pers (baca: pekerja media) menjadi sebuah proses mediasi antara masyarakat dengan “dunia”. Pers diproses oleh jurnalisme untuk memiliki daya persuasi. Jurnalisme memrosesnya melalui tata cara mencari dan menyebarkan informasi. Jurnalisme selalu mengembangkan teknik prliputan dan pendistribusian pesan yang sesuai dengan kultur masyarakat. Pada proses pengembangannya, perancangan informasi mendorong kelahiran fenomena bahasa pers.
Bahasa pers menjadi satu alat. Bahasa, di dalam kehidupan jurnalistik, tidak lagi sekadar sarana penghantar pesan melainkan menjadi daya dorong lain. Dalam perkembangannya, memengaruhi kegiatan pers sampai ke tingkat pengepingan realitas peristiwa berita. Tata nilai dan norma bahasa jurnalistik menjadi kelembagaan bahasa yang unik, dan bila dipolakan, menginduksi wacana masyarakat ketika menempatkan perspektif atas realitas.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga terbitan Departemen Pendidikan Nasional, (Balai Pustaka Jakarta, 2005), dalam Petunjuk Pemakaian Kamus halaman xxv antara lain menyatakan ragam menurut pokok pembicaraan. Di situ diuraikan bahwa ada empat macam ragam yakni ragam bahasa undang-undang, ragam bahasa jurnalistik, ragam bahasa ilmiah, dan ragam bahasa sastra. Jadi memang ada bahasa jurnalistik sebagai salah satu ragam Bahasa Indonesia berdasarkan pokok pembicaraanya seperti bahasa ilmiah dan bahasa sastra.
Bahasa jurnalistik sebagai salah satu variasi Bahasa Indonesia tampak jelas kegunaanya bagi masyarakat yang mendengarkan informasi dari radio setiap hari, membaca berita koran, tabloid dan majalah setiap jam, menyaksikan tayangan televisi yang melaporkan berbagai peristiwa yang terjadi di berbagai belahan bumi. Semua berita dan laporan itu disajikan dalam bahasa yang mudah dipahami oleh khalayak, mereka seolah-olah diajak untuk menyaksikan berbagai peristiwa secara langsung. Dengan demikian bahasa jurnalistik itu menjadi bagian tak terpisahkan dalam karya jurnalistik.
Sebelum lebih jauh masuk pada pengertian bahasa jurnalistik, perlu dijelaskan terlebih dahulu hakekat dari jurnalistik, karena selama ini beredar pendapat di tengah masyarakat bahwa jurnalistik adalah konsep penulisan berita semata. Pendapat ini tentu saja keliru. Sebab, seperti disebut Richard Weiner, jurnalistik adalah keseluruhan proses pengumpulan fakta, penulisan, penyuntingan dan penyiaran berita (Weiner 1990:247).
Pendapat keliru itu jika ditelusuri secara historis bukanlah tanpa dasar, karena pada sejarah awal lahirnya jurnalistik bermula pada masa Kekaisaran Romawi Kuno ketika Julius Caesar (100-44 SM) berkuasa. Dia memerintahkan agar hasil sidang dan kegiatan para anggota senat setiap hari diumumkan pada papan pengumuman yang disebut “Acta Diurna”. Dari kata “Acta Diurna” inilah secara harfiah kata jurnalistik berasal yakni kata “diurnal” dalam Bahasa Latin berarti harian atau setiap hari. (Onong U. Effendy, 1996: 124). Sejak saat itu dikenal para diurnarii yang bekerja membuat catatan-catatan hasil rapat dari papan Acta Diurna itu setiap hari untuk para tuan tanah dan para hartawan. Jadi di masa Romawi Kuno pada sejarah lahirnya jurnalistik merupakan kegiatan menyiarkan berita yang bersifat informatif semata-mata.
Kagiatan penyebaran informasi melalui tulis menulis semakin meluas pada masa peradaban Mesir, ketika masyarakatnya menemukan tehnik pembuatan kertas dari serat tumbuhan yang bernama Phapyrus. Setelah itu penyebaran informasi tertulis maju sangat pesat sejak mesin cetak ditemukan oleh Gutternberg.
Surat kabar cetak pertama terbit dan beredar di Cina dengan nama “King Pau” sejak tahun 911 M dan pada tahun 1351 M Kaisar Quang Soo telah mengedarkan surat kabar itu secara teratur seminggu sekali. Sedangkan pelopor surat kabar sebagai media berita pertama yang bernama “Gazetta” lahir di Venesia, Negara Italia pada tahun 1536 M. Saat itu Republik Venesia sedang perang melawan Sultan Sulaiman. Pada awalnya surat kabar ini ditulis tangan dan para pedagang penukar uang di Rialto menulisnya dan menjualnya dengan murah, tapi kemudian surat kabar ini dicetak.
Surat kabar cetak yang pertama kali terbit teratur setiap hari adalah Oxford Gazzete di Inggris pada tahun 1665 M. Surat kabar ini kemudian berganti nama menjadi London Gazzette dan ketika Henry Muddiman menjadi editornya untuk pertama sekali dia telah menggunakan istilah “newspaper”. Istilah inilah yang dipergunakan oleh semua orang sampai sekarang.
Di Amerika Serikat ilmu persuratkabaran mulai berkembang sejak tahun 1690 M dengan istilah journalism dan saat itu telah terbit surat kabar dalam bentuk yang modern, Publick Occurences Both Foreign and Domestick, di Boston yang dimotori oleh Benjamin Harris (Brend D Ruben, 1992: 22).
Pada abad ke-17 John Milton memimpin perjuangan kebebasan menyatakan pendapat di Inggris yang terkenal dengan Areopagitica, A Defence of Unlicenced Printing. Sejak saat itu jurnalistik bukan saja menyiarkan berita (to inform), tetapi juga mempengaruhi pemerintah dan masyarakat (to influence). Perjuangan John Milton kemudian diikuti oleh John Erskine pada abad ke-18 dengan karyanya yang berjudul “The Right of Man”. Pada abad ke-18 ini pula lahir sistem pers liberal mengantikan sistem pers otoriter.
Di Universitas Bazel, Swiss jurnalistik untuk pertama kali dikaji secara akademis oleh Karl Bucher (1847 – 1930) dan Max Weber (1864 – 1920) dengan nama Zeitungskunde pada tahun 1884 M. Sedangkan di Amerika mulai dibuka School of Journalism di Columbia University pada tahun 1912 M/1913 M dengan penggagasnya bernama Joseph Pulitzer (1847 - 1911).
Sepanjang tahun 1960-an di Amerika Serikat muncul para perintis jurnalisme baru yang merasa bosan dengan tatakerja jurnalisme lama yang dianggap kaku dan membatasi gerak wartawan pada tehnik penulisan dan bentuk laporan berita. Mereka melakukan inovasi dalam penyajian dan peliputan berita yang lebih dalam dan menyeluruh. Pada era jurnalisme baru saat ini para wartawan dapat berfungsi menciptakan opini public dan meredam konflik yang terjadi di tengah masyarakat.
Menurut Onong Uchjana Effendy, kegiatan jurnalistik sudah berlangsung sangat tua, dimulai zaman Romawi Kuno ketika Julius Caesar berkuasa. Waktu itu ia mengeluarkan peraturan agar kegiatan-kegiatan Senat setiap hari diumumkan kepada khalayak dengan ditempel pada semacam papan pengumuman yang disebut dengan Acta Diurna.
Berbeda dengan media berta saat ini yang 'mendatangi' pembacanya, pada waktu itu pembaca yang datang kepada media berita tersebut. Sebagian khalayak yang merupakan tuan tanah/hartawan yang ingin mengetahui informasi menyuruh budak-budaknya yang bisa membaca dan menulis untuk mencatat segala sesuatu yang terdapat pada Acta Diurna. Dengan perantaraan para pencatat yang disebutDiurnarii para tuan tanah dan hartawan tadi mendapatkan berita-berita tentang Senat.
Perkembangan selanjutnya pada Diurnarii tidak terbatas kepada para budak saja, tetapi juga orang bebas yang ingin menjual catatan harian kepada siapa saja yang memerlukannya. Beritanya pun bukan saja kegiatan senat, tetapi juga hal-hal yang menyangkut kepentingan umum dan menarik khalayak. Akibatnya terjadilah persaingan di antara Diurnarii untuk mencari berita dengan menelusuri kota Roma, bahkan sampai keluar kota itu.
Persaingan itu kemudian menimbulkan korban pertama dalam sejarah jurnalistik. Seorang Diurnarii bernama Julius Rusticus dihukum gantung atas tuduhan menyiarkan berita yang belum boleh disiarkan (masih rahasia). Pada kasus itu terlihat bahwa kegiatan jurnalistik di zaman Romawi Kuno hanya mengelola hal-hal yang sifatnya informasi saja.
Tetapi kegiatan jurnalistik tidak terus berkembang sejak zaman Romawi itu, karena setelah Kerajaan Romawi runtuh, kegiatan jurnalistik sempat mengalami kevakuman, terutama ketka Eropa masih dalam masa kegelapan (dark ages). Pada masa itu jurnalistik menghilang.

Sumber: buku JURNALISTIK BARU karya Sudirman Tebba (kepala diklat dan litbang pemberitaan ANTV). Desember 2005. penerbit Kalam Indonesia.



SEJARAH JURNALISTIK DUNIA

awal mulanya muncul jurnalistik dapat diketahui dari berbagai literatur tentang sejarah jurnalistik senantiasa merujuk pada “Acta Diurna” pada zaman Romawi Kuno masa pemerintahan kaisar Julius Caesar (100-44 SM).
“Acta Diurna”, yakni papan pengumuman (sejenis majalah dinding atau papan informasi sekarang), diyakini sebagai produk jurnalistik pertama; pers, media massa, atau surat kabar harian pertama di dunia. Julius Caesar pun disebut sebagai “Bapak Pers Dunia”.
Sebenarnya, Caesar hanya meneruskan dan mengembangkan tradisi yang muncul pada permulaan berdirinya kerajaan Romawi. Saat itu, atas peritah Raja Imam Agung, segala kejadian penting dicatat pada “Annals”, yakni papan tulis yang digantungkan di serambi rumah. Catatan pada papan tulis itu merupakan pemberitahuan bagi setiap orang yang lewat dan memerlukannya.
Saat berkuasa, Julius Caesar memerintahkan agar hasil sidang dan kegiatan para anggota senat setiap hari diumumkan pada “Acta Diurna”. Demikian pula berita tentang kejadian sehari-hari, peraturan-peraturan penting, serta apa yang perlu disampaikan dan diketahui rakyatnya. Papan pengumuman itu ditempelkan atau dipasang di pusat kota yang disebut “Forum Romanum” (Stadion Romawi) untuk diketahui oleh umum.
Berita di “Acta Diurna” kemudian disebarluaskan. Saat itulah muncul para “Diurnarii”, yakni orang-orang yang bekerja membuat catatan-catatan tentang hasil rapat senat dari papan “Acta Diurna” itu setiap hari, untuk para tuan tanah dan para hartawan.
Dari kata “Acta Diurna” inilah secara harfiah kata jurnalistik berasal yakni kata “Diurnal” dalam Bahasa Latin berarti “harian” atau “setiap hari.” Diadopsi ke dalam bahasa Prancis menjadi “Du Jour” dan bahasa Inggris “Journal” yang berarti “hari”, “catatan harian”, atau “laporan”. Dari kata “Diurnarii” muncul kata “Diurnalis” dan “Journalist” (wartawan).
Dalam sejarah Islam, seperti dikutip Kustadi Suhandang (2004), cikal bakal jurnalistik yang pertama kali di dunia adalah pada zaman Nabi Nuh. Saat banjir besar melanda kaumnya, Nabi Nuh berada di dalam kapal beserta sanak keluarga, para pengikut yang saleh, dan segala macam hewan.
Untuk mengetahui apakah air bah sudah surut, Nabi Nuh mengutus seekor burung dara ke luar kapal untuk memantau keadaan air dan kemungkinan adanya makanan. Sang burung dara hanya melihat daun dan ranting pohon zaitun yang tampak muncul ke permukaan air. Ranting itu pun dipatuk dan dibawanya pulang ke kapal. Nabi Nuh pun berkesimpulan air bah sudah mulai surut. Kabar itu pun disampaikan kepada seluruh penumpang kapal.
Atas dasar fakta tersebut, Nabi Nuh dianggap sebagai pencari berita dan penyiar kabar (wartawan) pertama kali di dunia. Kapal Nabi Nuh pun disebut sebagai kantor berita pertama di dunia.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar